Kesan pertama yang saya dapatkan saat melihat daftar lagu-lagu dalam album ini adalah sureal. Bagaimana tidak? judul-judul lagu dalam album ini konstan berada di tema yang berbeda-beda, mulai dari jendela, emas, bulan, jangkar, matahari, hingga tembok beton. Kesan pertama ini serentak menimbulkan rasa penasaran saya, hingga menjadikan tombol forward menjadi haram bagi saya saat menikmati album ini.
Dimulai dari Swell Window, lagu pertama yang menjadi introduksi manis bagi saya mengakrabkan lagi telinga saya akan album debut Zee Avi. Balada dengan dominasi Ukulele, balutan etnis dari bunyi-bunyi perkusi Clay Pot, Cajon, dan Tamborin. Vokal Zee Avi yang hangat menyanyikan cerita kegundahan pencarian kekasih hatinya yang hilang dengan perumpamaan yang tidak murahan, dan menurut saya trivia benang merah album ini juga muncul dalam satu bait lirik “He tells me how he feels when he’s alone, With the raging sound of calm.” Semua itu membuat lagu ini sangat mudah saya pilih untuk menjadi salah satu lagu favorit saya.
Tema kegundahan pencarian kekasih yang hilang tetap muncul di Anchor, 31 Days, hingga Milestone Moon. Kesan sureal semenjana hilang dari pikiran saya setelah mendengar cerita dari lirik-lirik tersebut. Walaupun demikian, saya tetap menikmati ketiga lagu tersebut karena jauh dari kesan cheesy dan tetap membuat Zee Avi tidak terasa asing bagi saya jika merujuk pada album debutnya.
Saya tidak bisa berkomentar banyak untuk Siboh Kitak Nangis karena saya tidak mengerti bahasa Sarawak. Namun, kesegaran musikal kembali terasa setelah lagu-lagu mendayu sebelumnya, kesan etnis dari lirik bahasa Sarawak dipadukan dengan musik easy listening bertemakan jazz yang elegan menghadirkan sinergi yang manis a la Zee Avi. Lagu yang jenius! setidaknya menurut saya. Siboh Kitak Nangis menjadi awal dari eksplorasi musikal Zee Avi sebelum lagu-lagu selanjutnya seperti The Book Of Morris Johnson, Madness, Bag of Gold, dan Concrette Wall. Zee Avi yang dikenal dengan lagu-lagu baladanya berubah menjadi wujud yang beraneka ragam. Sayangnya, eksplorasi ini hanya berlaku pada aransemen musik pengiring, tidak ada eskplorasi berarti pada aransemen vokal yang Zee Avi nyanyikan. Sisi konservatif vokal Zee Avi yang kurang bisa membaur dengan aransemen lagu-lagunya sangat terasa.
Kesenangan yang diberikan oleh album ini berhenti seiring dengan penutup dari lagu Concrette Wall. Lagu Roll Your Head In The Sun, dan Stay In The Clouds membuat saya kembali meragukan proses kreatif Zee Avi. Repetisi lirik yang minim variasi, pemilihan kata-kata yang terkesan biasa, dan aransemen lagu yang terkesan sangat dipaksakan membuat saya mengerutkan dahi saat mendengarkan kedua lagu tersebut. Eksplorasi aransemen yang tidak mendalam akan musik reggae dan lo-fi menjadikan dua lagu tersebut terasa begitu hambar, khususnya pada lagu Stay In The Clouds, Zee Avi tampak terlalu memaksakan diri untuk membuat aransemen lo-fi seperti yang sudah dilakukan oleh Cocorosie hingga membuat Zee Avi seperti memungkiri musikalitas di dalam dirinya sendiri.
Lagu-lagu di dalam album ini bisa dikatakan konstan berada di dalam tema “the raging sound of calm” dengan dinamika yang layak untuk disimak. Setidaknya pasang-surut proses kreatif yang Zee Avi lakukan dalam album ini berhasil membuat saya terus menyimak dan tetap lupa akan keberadaan tombol Forward. Secara keseluruhan saya cukup menyukai album ini, bahkan saya menambahkan lagu Swell Window, Anchor, dan Siboh Kitak Nangis kedalam daftar lagu-lagu favorit saya.
Dibalik semua itu, saya merasakan rintihan dari lagu-lagu di dalam album ini yang sepertinya sangat menginginkan sentuhan kompleksitas dan megah. Zee Avi seperti hendak menjaga predikat balada dan kesederhanaan musikal yang melekat pada dirinya, sehingga lupa akan potensi lagu-lagunya yang sebenarnya sangat memungkinkan menjadi bentuk yang lebih rumit dan membuat pendengarnya mendapatkan goosebump daripada hanya memejamkan mata dan mendengar cerita yang tersirat dari lirik-liriknya.